Ramai-ramai Periksa Mata Usai Gerhana 1983
Foto: Ilustrator: Mindra Purnomo
Pasien 'korban gerhana' berbondong-bondong datang ke RS Dr Sardjito mulai hari terjadinya gerhana hingga 13 Juni 1983. Tercatat sekitar 600 orang memeriksakan matanya, bahkan ada pasien yang datang dari Solo dan Magelang, Jawa Tengah.
Salah satu pasien itu adalah Tuti R (19), seorang pelajar yang saat gerhana melihat langsung ke matahari meski cuma sebentar saja. Setelah diperiksa dokter, ternyata matanya baik-baik saja."Saya cuma takut," kata Tuti.
Ada juga Rudi, mahasiswa Publisistik FISIPOL UGM yang cemas setelah sempat melihat gerhana secara langsung. Seperti Tuti, mata Rudi pun ternyata normal. "Saya memang kurang tidur," kata Rudi soal mata merahnya.
Dokter Bharoto dari Satgasus Gerhana Dr Sardjito mengatakan sebagian besar pasien yang yang datang lebih karena masalah psikologis dan bukannya sakit mata. Mereka cemas karena sebelumnya pemerintah menyatakan melihat gerhana akan membutakan mata.
Menurut dia, setelah gerhana banyak yang datang mengeluh pusing, pandangannya kabur, susah tidur, dan hilang konsentrasi belajar. Namun ada juga yang cuma iseng datang ke rumah sakit ingin melihat kerja para dokter Satgassus Gerhana.
Ada yang memang sakit mata biasa, "Tapi (ada yang) mata mereka merah saja tidak, kok minta diperiksa," kata Bharoto seperti dilansir harian Suara Karya (14/6/1983).
Namun Bharoto mengatakan ada sekitar 18 orang yang diobservasi secara serius karena ada dugaan matanya terbakar retinanya akibat gerhana. Memang ada risiko retina terbakar jika melihat gerhana saat totalitas dan tetap menatapnya ketika bulan mulai bergeser dan sinar matahari muncul lagi.
"Tapi mereka belum ada yang buta, terbakarnya pun tidak merusak seluruh retina," kata Bharoto. "Meski penglihatannya dari hari ke hari terus menurun, kami tidak bisa gegabah menentukan bahwa retinanya sudah terbakar," katanya.
Sementara itu di RS Dr Kariadi Semarang, tercatat 21 orang memeriksakan matanya. Rata-rata pasien ini tak bermasalah matanya kecuali takut buta karena melihat gerhana secara langsung.
Ada pasien bernama Wiji di Kariadi yang mengaku tak bisa melihat setelah gerhana. Dokter Edwin Djuanda dalam buku Gerhana Matahari Total 1983 menulis bahwa Wiji tidak buta tetapi karena rasa ketakutan yang sangat besar membuat dia merasa buta.
"Pengobatan mata gratis ditutup lebih awal karena banyak digunakan orang-orang yang memang sudah punya kelainan penglihatan sejak lama," ujarnya.
Edwin bercerita, ada dokter spesialis mata yang meminta maaf karena saat jadi penyuluh ia melarang melihat gerhana. Padahal, ia diam-diam melihat secara langsung dan terpesona pada fenomena langka itu. "Ia tidak buta dan benar-benar yakin bahwa kerugian melarang masyarakat lebih besar daripada keuntungan yang
didapat" katanya
Sumber : http://news.detik.com/berita/3130954/ramai-ramai-periksa-mata-usai-gerhana-1983
Tidak ada komentar:
Posting Komentar