Jumat, 29 Januari 2016

Kisah Warga Sragen Melawan Anjuran Pemerintah untuk Lihat Gerhana 1983

Larangan melihat gerhana matahari total  tahun 1983 di wilayah Pulau Jawa sangat masiv, bahkan ada ancaman bila melihat gerhana secara langsung bisa menimbulkan kebutaan. Hal tersebut juga terjadi di Sragen, Jawa Tengan, seluruh kota seperti kota mati pada saat gerhana, tetapi ada kisah menarik tentang satu keluarga yang justru berkeliling kota pada saat itu. Bagaimana kisahnya?

"Waktu itu nggak ada yang boleh keluar, semua genting diselimutin. Sumur yang digali pun ditutupi pakai kardus jadi ventilasinya ditutup semua pakai lakban, kecuali rumah saya. Bapak saya bilang nggak usah, gerhana itu biasa aja, kebetulan rumah saya juga di jalan raya," ujar Setyawan Murdono dalam keteranganan kepada detikcom, Selasa (26/1/2016).

Setyawan kemudian menceritakan bagaimana sebelum hari H, pemerintah melakukan sosialisasi besar-besaran mengenai bahaya melihat gerhana matahari total. Banyak spanduk bahaya gerhana terpampang di wilayah sekitar Sragen. Pengurus RT/RW setempat juga beberapa kali melakukan penyuluhan mengenai bahaya melihat gerhana.

"Waktu itu saya tinggal di sebuah kota kecil di Sragen, saya ingat betul saya masih kelas 3 SMP. Sebelum hari H banyak spanduk berisi larangan juga ancaman melihat gerhana waktu itu. Selain itu di banyak tempat juga digelar penyuluhan yang isinya ancaman, kurang lebih isinya seperti ini "Kalau mau buta silakan saja lihat gerhana". Saya sendiri 2 atau 3 kali mengikuti penyuluhan," ungkapnya.

Akibat sosialiasi itu banyak warga ketakutan dan memilih untuk mengikuti anjuran pemerintah dan pihak keamanan untuk tidak keluar rumah untuk melihat gerhana matahari total. Ia menggambarkan suasana Sragen waktu itu seperti kota mati, jalanan sunyi, benar-benar tidak ada aktivitas. Setyawan dan keluarganya memilih untuk keluar rumah dan melawan anjuran tersebut karena penasaran ingin melihat langsung apa yang sebenarnya terjadi. Ia pun sempat ditegur polisi yang tengah berpatroli.

"Pas saya keliling, suasananya benar-benar sepi, kaya kota mati. Pokonya suasananya kaya ada mau kiamat, kemudian saya lanjut jalan ke stadion ada orang orang Jepang bawa teropong . Pas hari H saya malah jalan-jalan terus diusir usir sama polisi patroli. Ketakutan yang luar biasa, tapi bapak saya bilang ya gapapa, jadi kami tetap keliling," katanya.

Saat berkeliling, Ia sempat memperhatikan apa saja yang terjadi. Ia melihat bagaimana aktivitas hewan peliharaannya dan aktivitas tanaman putri malu yang banyak tumbuh disekitar lingkungannya. Ia menambahkan saat berkeliling, Ia hanya melihat orang Jepang yang tengah melakukan penelitian dan para polisi yang sedang berpatroli.

"Saya perhatikan hewan-hewan peliharaan saya, ternyata hewan peliharaan pada masuk ke rumah karena mengira sudah sore. Rumah saya kan besar, hewannya nggak dikurung dan pas gerhana langsung masuk semua, kemudian saya perhatikan lagi, putri malu itu menutup semua, jadi seperti menjelang sore," ucap Setyawan.

Setyawan berharap untuk gerhana matahari total 9 Maret 2016 nanti tidak terjadi lagi pembodohan massal terhadap masyarakat. Dia mengatakan dampak kebutaan saat melihat gerhana matahari total itu tidak benar sama sekali. Jadi, ia mengimbau untuk masyarakat luas untuk bisa menikmati gerhana yang terjadi tahun ini.

"Untuk gerhana tahun ini, jangan ada kebodohan-kebodohan seperti tahun 1983. Katanya habis ngelihat gerhana bisa buta, wong saya sampai sekarang masih bisa melihat kok, alhamdulillah," tutupnya.
sumber : http://news.detik.com/berita/3128549/kisah-warga-sragen-melawan-anjuran-pemerintah-untuk-lihat-gerhana-1983

Tidak ada komentar:

Posting Komentar