Jumat, 29 Januari 2016

Gerhana Matahari Total 1983, Fenomena Alam yang Istimewa Namun Dianggap Bahaya


Gerhana Matahari Total 1983, Fenomena Alam yang Istimewa Namun Dianggap Bahaya Foto Ilustrasi gerhana matahari (Istimewa/Getty Images)
Yogyakarta - Sekitar 33 tahun lalu tepatnya pada hari Minggu, 11 Juni 1983, wilayah Indonesia pernah mengalami peristiwa seperti yang akan terjadi tahun ini, yakni Gerhana Matahari Total (GMT) atau Total Solar Eclipse.

Bedanya, GMT 2016 orang-orang bisa bebas menyaksikan fenomena alam yang indah ini. Sementara pada tahun 1983 itu, zaman pemerintahan Orde Baru, rakyat tidak boleh melihat GMT secara langsung.

Masyarakat saat itu oleh Menteri Penerangan (Menpen) Harmoko diminta untuk tidak keluar rumah atau menyaksikan peristiwa GMT secara langsung tanpa alat dan melihat dari luar rumah. Pemerintah melalui aparat TNI dan Polri melarang warga menyaksikan langsung secara beramai-ramai. Bahkan di wilayah Jawa Timur, aparat keamanan menyita puluhan alat teropong yang akan digunakan warga untuk melihat gerhana.

Repro (Foto: Bagus Kurniawan/detikcom)


Kala itu informasi yang beredar soal gerhana bisa dibilang 'menyeramkan' yakni bila menyaksikan langsung dengan mata telanjang akan terkena dampak radiasi infra merah atau percikan atau lontaran partikel-partikel gas dari matahari. Rakyat waktu itu ditakut-takuti kalau melihat langsung bisa mengakibatkan gangguan mata hingga mengalami kebutaan.

GMT 1983 terjadi dengan durasi yang lama dan diwaktu siang hari pukul 11.29 WIB. Ini merupakan GMT terpanjang yang terjadi yakni sekitar 5 menit 4 detik.

Rakyat 'dipaksa' berada di dalam rumah dan hanya boleh menyaksikan GMT dari siaran langsung Stasiun TVRI saja. Padahal gerhana matahari total 1983 itu menjadi perhatian dunia internasional terutama para ahli dari luar negeri yang banyak berdatangan ke Indonesia.

Repro (Foto: Bagus Kurniawan/detikcom)


Stasiun TVRI waktu itu menyiarkan siaran langsung bekerja sama dengan televisi NHK Jepang. Siaran langsung dilakukan di kawasan Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah yang baru saja diresmikan purna pugarnya oleh Unesco pada awal tahun 1983 oleh Presiden Soeharto. TVRI menyiarkan langsung GMT mulai pukul 09.00-13.00 WIB.

Warga masyarakat pun saat itu mematuhi aturan yang keluarkan Presiden Soeharto melalui Menpen Harmoko. Rakyat hanya bisa menyaksikan peristiwa GMT dari siaran televisi yang saat itu masih televisi hitam putih.

Berdasarkan data yang dimuat oleh Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, pemberitaan soal GMT saat itu sangat gencar terutama pada awal bulan Juni 1983. Salah satu berita yang dimuat adalah pada tanggal 1 Juni 1983 adalah berita berjudul "Polda Jatim Sita 20 Teropong GMT".

Alat teropong yang dijual bebas atau beredar di pasaran itu disita aparat gabungan Polda Jatim dan Kodam X Brawaijaya Jawa Timur dari wilayah Kecamatan Rengel Kabupaten Bojonegoro. Aparat keamanan menyita dan meminta warga untuk tidak menggunakannya saat GMT berlangsung dan hanya boleh melihat dari siaran televisi.

Rumah-rumah warga, terutama bagian lubang angin, hewan ternak peliharaan seperti sapi, kerbau dan kambing serta burung peliharaan perkutut untuk di sembunyikan. Lubang angin rumah harus disumbat. Sapi atau hewan terbnak lainnya matanya harus ditutup kain saat di kandang. Sedangkan burung perkutut harus disembunyikan di bawah kolong tempat tidur.

 
Repro (Foto: Bagus Kurniawan/detikcom)


Selain itu, RSU Dr Sardjito Yogyakarta juga menyiapkan tim Satgasus (Satuan Tugas Khusus) untuk menangani korban akibat melihat langsung GMT. Adanya pelarangan yang dianggap berlebihan itu ternyata juga mendapat reaksi dari kalangan akademisi Universitas Gadjah Mada dari Pusat Penelitian dan Studi Lingkungan Hidup (PPSLH), yakni Dr Salahuddin Jalal Tanjung dan Dr Sugeng Martopo. Mereka mengkritisi tindakan pemerintah yang dianggap berlebihan dalam menyikapi fenomena gerhana.

sumber : http://news.detik.com/berita/3123870/gerhana-matahari-total-1983-fenomena-alam-yang-istimewa-namun-dianggap-bahaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar